Selasa, 28 September 2010

Mendidik Bukan Hanya Sekedar Menyekolahkan!

Data sensus penduduk di negeri ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduknya beragama islam. Ini adalah sebuah realita yang seharusnya dengannya kita bisa melihat adanya sebuah generasi yang tangguh, tetapi ternyata tidak.
Mari kita lihat keadaan diri dan anak-anak kita. Kenyataannya masih sangat sedikit yang benar-benar serius memperhatikan pendidikan. Sebagian besar acuh dan tidak peduli…
Mungkin banyak yang merasa keberatan dengan pernyataan di atas dan menyanggah: “TIDAK! Saya memperhatikan pendidikan anak-anak saya! Saya akan melakukan segalanya demi pendidikan mereka. Seandainya harus menjual tanah, saya akan melakukannya untuk bisa menyekolahkan mereka sampai jadi sarjana! Biarpun saya cuma lulusan SMP, tapi saya ingin anak saya berpendidikan tinggi!”
Seperti inilah yang kebanyakan kita pahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan tidak gagap teknologi.
Untuk bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, kita rela menjual tanah atau cari hutangan tapi untuk agama mereka kita tidak peduli.
Kita bisa geger ketika melihat nilai matematika anak kita dapat angka 3, lalu segera keliling cari tempat kursus yang bagus untuknya. Tapi kita tidak peduli (baca: tidak geger) ketika anak kita diajari pelajaran PPKN di sekolah; anak kita diajari bahwa agama di Indonesia ini ada lima dan semua agama itu sama. Semuanya mengajarkan kebaikan, jadi harus saling menghormati. Padahal telah nyata kebenaran bahwa agama yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhoi hanyalah islam. Kata “hanyalah” menunjukkan bahwa tidak ada yang lain. Hal ini termasuk hal yang besar bagi seorang muslim yang tidak layak untuk disepelekan karena ini menyangkut aqidah seseorang.
Kebanyakan dari kita, seandainya pun memperhatikan kelakuan anak, berkelakuan baik yang dimaksud tolok ukurnya adalah masyarakat. Jadi ketika melihat putri kesayangan jalan-jalan ke mall dengan pakaian ‘pas-pasan’ bersama teman laki-lakinya, ini -menurut pengertian di sini- masih termasuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat menganggap wajar bagi seorang ABG. Atau ketika putra kesayangan membeli majalah untuk melihat horoscope (ramalan bintang), ini juga masih masuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat juga menganggap ini adalah hal yang lumrah. Padahal jika dilihat dari tolok ukur yang benar, keduanya bertentangan dengan syariat.
Wahai para pendidik!
Sikap mendidik yang seperti ini secara tidak langsung seperti kita mengatakan pada anak kita: “Wahai anakku! Kejarlah duniamu! Lupakan akhiratmu!”
Padahal tentang kehidupan dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)
Bahkan Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Rum:7)
Ayat di atas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.
Adapun para ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)
Dunia oh… dunia! Membuat lalai para pengejarnya!
Perhatikanlah dalam hadis ini bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengancam dengan kehinaan jika umat islam sibuk dalam urusan dunia dan lalai dari urusan akhirat!
Diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya:
“Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (satu barang dengan dua harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.” (Riwayat Abu Daud (3462) dan riwayat ini shahih)
Wahai pendidik!
Untuk mengangkat umat ini dari kehinaan Allah telah memberi solusi, yaitu dengan kembali pada dien yang lurus. Kondisi kaum muslimin saat ini masih jauh dari nilai-nilai islam. Kita bisa melihat saat adzan dzuhur dikumandangkan, masjid-masjid sepi dari para jamaah padahal pada waktu yang bersamaan pasar-pasar dan jalan-jalan ramai dipenuhi oleh kaum muslimin. Kita juga bisa melihat orang-orang yang berusaha untuk berpegang teguh pada sunnah dianggap aneh. Seperti misalnya celana cingkrang (di atas mata kaki), jenggot, jilbab syar’i, tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis, menjauh dari ibadah-ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih banyak lagi. Ini adalah keadaan yang menyedihkan karena syariat islam dipandang asing oleh pemeluknya sendiri.
Mari kita belajar dari doa Nabi Ibrohim ‘alaihissalam. Ketika beliau berdoa tentang anak dan keturunannya, pandangannya jauh kedepan. Tidak sekedar pada kenikmatan-kenikmatan dunia. Tetapi yang beliau harapkan adalah agar Allah menjadikan mereka sebagai umat yang tunduk patuh pada-Nya, mengutus rasul pada mereka sehingga tidak tersesat dalam kegelapan, menjauhkan mereka dari dosa terbesar yang membinasakan (syirik).
Demikianlah wahai para pendidik! Tujuan kita adalah tujuan yang mulia! Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan kita bukan sekedar berapa nilai matematika anak kita, bagaimana kemampuan bahasa inggrisnya, dapat rangking berapa, bisa masuk universitas mana, bisa kerja dimana, bisa belikan kita mobil berapa, atau bisa jadi pejabat tidak.
Tidak sependek itu!
Tidak sekedar anak kita bisa menyelesaikan ujian akhir semester dengan sukses dan melupakan yang lain padahal ada ujian yang menanti yang jauh lebih besar ketika kita ditanya siapa Robbmu, apa agamamu, dan siapa nabimu.
Maka seharusnya kita segera mempersiapkan diri. Mendidik diri-diri kita dan keluarga untuk kembali pada dien ini.
Menempuh jalan yang lurus meski jalan itu terasa asing karena sedikitnya pengikut. Kembali pada al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman salafush sholih.
Terangkatnya kemuliaan umat ini adalah dengan kembali pada dien yang lurus. Bukan dengan harta atau kekuasaan.
Seandainya mulia itu dengan kekuasaan, tentu Fira’un termasuk ke dalam orang-orang yang mulia.
Seandainya mulia itu dengan harta, tentu Qorun lebih mulia dari kita.
Kita jadi sadar bahwa ternyata memang masih sedikit yang benar-benar memperhatikan pendidikan generasi ini.
Duhai pendidik sejati! Kemana harus dicari?
Wallahu a’lam
***
Artikel www.muslimah.or.id

Menanam Benih-Benih Muda Keemasan

Sebelum kalian memperbaiki orang lain hendaklah kalian memperbaiki diri kalian terlebih dahulu, wahai para pendidik! Kerjakanlah kebaikan di hadapan anak didik kalian dan tinggalkanlah kejelekan. Perilaku yang baik dari para pendidik dan orangtua di hadapan anak-anak merupakan pendidikan yang paling utama.

Maka yang wajib dilakukan (oleh orangtua dan pendidik) antara lain:
1. Mengajarkan anak mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah dan memberikan pemahaman tentang maknanya ketika mereka dewasa (telah mampu diajak berpikir, serta membedakan baik dan buruk -red muslimah.or.id), yaitu: “Tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.”
2. Menanamkan rasa cinta kepada Allah dan keimanan kepada-Nya ke dalam hati sang anak, bahwasanya Allah adalah Dzat Yang Menciptakan kita, Pemberi rezeki, Penolong kita, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
3. Memotivasi anak untuk meraih surga, bahwasanya surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang shalat, puasa, menaati kedua orang tua, dan mengamalkan perbuatan yang diridhai Allah, serta memperingatkan mereka tentang neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat, durhaka kepada orang tua, melakukan perbuatan yang membuat Allah murka, berhukum dengan selain syariat-Nya, memakan harta manusia dengan cara menipu, berdusta, riba, dan yang lainnya.
4. Mengajarkan anak agar senantiasa berdoa dan memohon pertolongan hanya kepada Allah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak pamannya:
5. إذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللهَ وَ إذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ.
Artinya: “Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohon pertolonganlah kepada Allah.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi, dan dia berkata “hadits hasan shahih”)
***
Sumber: Dikutip dari Kiat Mencetak Anak Shalih (terj. Kayfa Nurabbi Awlaadanaa At-Tarbiyyah Al-Islamiyah Ash-Shahiihah), karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerbit: Pustaka Ulil Albab, Bogor, Rabi’ul Awwal 1428/April 2007); dengan pengubahan seperlunya oleh redaksi www.muslimah or.id.

Ketika Sang Buah Hati Beranjak Dewasa

Bahagia dan suka cita terasa lengkap ketika sosok mungil lahir ke dunia. Tetesan air mata bahagia kadang tak kuasa tertahan, mengingat perjuangan berat yang dialui untuk mengantarkannya ke pangkuan. Setelah menanti begitu lama, akhirnya kebahagiaan sebagai orang tua seolah telah begitu sempurna. Anak merupakan anugerah sekaligus titipan dari Allah kepada orang tua. Banyak orang mengusahakan berbagai cara untuk mendapatkan anak. Anak adalah sumber kebahagiaan, sebagai tempat mencurahkan kasih sayang dan tambatan hati di masa tua.
Hari demi hari, sosok mungil yang ada dulu berada dalam buaian itu, akan tumbuh menjadi sosok yang lincah dan mulai muncul dalam hati mereka perhatian terhadap penampilan dirinya dan lawan jenisnya. Tumbuh dalam diri mereka rasa suka atau syahwat yang disebut dengan masa pubertas sehingga saat itu segala perbuatan mereka akan dimintai pertanggungjawaban.
Islam sangat memperhatikan masalah pembinaan dan pendidikan anak. Oleh karena itu, sungguh sangat memprihatinkan ketika ada orang tua yang mengabaikan pendidikan anaknya dan menyerahkannya pada lembaga-lembaga seperti sekolah, terlebih sekolah-sekolah umum yang minim sentuhan agama. Salah satu hal yang banyak menjadi pertanyaan bagi sebagian orang tua adalah bagaimana cara yang tepat untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak? Maka kita dapat menengok kepada teladan kita yang mulia, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang rambu-rambu yang telah beliau ajarkan kepada para orang tua muslim.
Kapan Waktu yang Tepat Memberikan Pendidikan Seksual kepada Anak?
Pendidikan seksual pada anak tidak selalu identik dengan masalah reproduksi sebagaimana yang diterjemahkan oleh sebagian orang. Pendidikan seksual dapat diberikan sejak usia dini, yaitu sejak masa bayi. Sangat sedikit orang tua yang menyadari bahwa mereka telah mulai melakukan penggolongan seks terhadap bayi mereka, seperti menentukan warna pink untuk selimut, popok atau pernak-pernik bayi perempuan, dan warna biru untuk bayi laki-laki. Mereka juga mengatur kamar bayi dan memberikan mainan-mainan sesuai dengan jenis kelamin anak. Lambat laun, anak-anak akan mulai belajar mengidentifikasi dan menyesuaikan perilakunya dengan peran seksual yang diberikan oleh orang tuanya serta lingkungannya.
Pada awal masa kanak-kanak, anak mulai tertarik dengan masalah di sekitarnya. Tidak jarang muncul pertanyaan-pertanyan yang mungkin agak mengundang kebingungan orang tua seperti, “Ummi, dari mana adik muncul?”. Mereka akan mulai bertanya-tanya tentang hal tersebut sedangkan orang tua diharapkan mampu memberi jawaban yang tepat. Jawaban yang tepat bagi anak bukanlah jawaban abstrak atau jawaban yang memutar-mutar. Banyak pula orang tua yang kebingungan dan merasa malu menghadapi pertanyaan anak sehingga memilih untuk menolak menjawabnya atau mengalihkan perhatian anak.
Wahai ibu, sesungguhnya ini adalah perkembangan wajar yang dialami oleh sang buah hati yang menunjukkan perhatian mereka terhadap hal-hal yang ada di sekitar mereka. Anak bertanya untuk memuaskan perasaan ingin tahu mereka, sehingga hendaknya orang tua menjawab pertanyaan mereka secara sederhana dan tanpa kebohongan. Maka jawablah pertanyaan itu semisal,
“Adik lahir dari perut ummi, seperti ibu kucing melahirkan anaknya.”
Janganlah menahan rasa ingin tahunya karena lebih berbahaya apabila si kecil mencari tahu kepada selain kita dan mungkin ia justru mendapatkan informasi yang salah.
Ketika Anakku Telah Baligh
Memasuki usia pubertas atau baligh memang bukan sesuatu yang mudah bagi anak. Mereka akan merasa bingung, gelisah, takut dan cemas dengan berbagai perubahan yang mereka alami. Perubahan yang paling menggelisahkan bagi anak adalah perubahan fisik. Terdapat dua tanda ketika anak telah memasuki masa baligh:
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi maupun hal lainnya.
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُواكَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nuur [24]: 59)
Al-Maghribi bin As-Said Al-Maghribi menukil hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (12/78/4380) dan At-Tirmidzi (1423), dari ‘Ali radhiallahu’anhu dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang; orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam dan orang gila hingga berakal.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa ihtilam merupakan salah satu sebab dikenakannya kewajiban syari’at terhadap seseorang dan akan mulai dihisabnya seluruh amal perbuatan yang dilakukannya ketika telah mencapai masa tersebut.
2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
Al-Maghribi bin As-Said Al-Maghribi juga menukilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i (Sunan, 2450), Al-Baihaqi (Al-Kubra, 19155) dan Imam Ahmad (Musnad, 21532) dari ‘Athiyyah radhiallahu’anhu,
” Kami dihadapkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari Quraizhah (yaitu peristiwa pengkhianatan Bani Quraizhah), di situ orang yang telah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh, maka aku dibiarkan.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda baligh-nya seseorang yaitu telah dibebankan hukum syari’at kepadanya, sehingga orang-orang dari Bani Quraizhah yang telah tumbuh bulu kemaluannya berhak dibunuh karena mereka telah mengkhianati Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Ibnu Qayyim Al-Jauziah -rahimahullahu Ta’alaa- dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud halaman 210 yang dikutip oleh Al-Maghribi bin As-Said Al-Maghribi, menjelaskan tentang bolehnya melihat aurat orang lain jika diperlukan untuk mengetahui baligh tidaknya seseorang serta untuk kebutuhan mendesak lainnya.
Tanda-tanda baligh bagi anak perempuan sama seperti anak laki-laki, namun terdapat tanda khusus yang tidak dialami oleh anak laki-laki yaitu haidh.
Bila anak telah mencapai hulm atau ihtilam maka ia telah sampai pada usia taklif yaitu telah wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib yang ditentukan syari’at. Adapun usia-usia sebelum masa ihtilam, perintah hanya merupakan pengenalan serta pembiasaan bagi anak agar mereka mencintai syari’at ini.
Maraji’:
1. Kaifa Turrabi Waladan karya Al-Maghribi bin As-Said Al-Maghribi (ed. terjemah: Begini Seharusnya Mendidik Anak)
2. Ifham Tiflaka Tanjah fii Tarbiyatihi karya Adil Fathi Abdullah (ed. terjemah: Knowing Your Child)
***
Metode Pendidikan Seksual Anak
Wahai Ibu… tentunya kita telah mengetahui bahwa Islam adalah ajaran yang paling agung dan sempurna, maka tidaklah kita kaget ketika Islam ternyata telah memberikan rambu-rambu bagi orang tua dalam memberikan pendidikan seksual bagi anak-anaknya.
Pondasi 1: Ajarkanlah kepada sang buah hati untuk minta ijin ketika hendak masuk ke kamar orang tua.

Allah telah berfiman bahwa hendaklah anak meminta ijin sebelum masuk menemui orang tua mereka.
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nuur [24]: 59)
Islam menetapkan kewajiban meminta ijin kepada orang tua ketika hendak masuk ke kamar pada tiga waktu, yaitu sebelum shalat fajar, siang hari ketika waktu tidur siang serta setelah shalat isya’. Ketiga waktu tersebut merupakan waktu istirahat bagi orang tua ketika mereka memakai pakaian ringan dan mungkin sedang berada dalam kondisi yang tidak boleh dilihat.
Sungguh tidak mungkin Islam mengajarkan sesuatu tanpa adanya hikmah di dalamnya. Sesungguhnya orang tua adalah teladan bagi anak-anak mereka. Ketika anak memasuki kamar orang tua mereka tanpa ijin, boleh jadi mereka akan melihat kedua orang tua mereka dalam keadaan yang tidak pantas untuk mereka lihat. Anak yang melihat orang tua mereka dalam keadaan berbeda dengan keadaan sehari-hari yang mereka lihat akan berdampak kepada pekerti mereka, karena mereka melihat sesuatu yang sebenarnya belum waktunya untuk mereka pahami. Kewibawaan orang tua pun akan jatuh di mata anak.
Melihat aurat orang tua (atau orang dewasa lainnya) akan membekas pada anak dan merusak jiwa dan syarafnya ketika dewasa. Banyak orang terjangkit penyakit penyimpangan seksual seperti onani maupun masturbasi salah satu sebabnya karena mereka tidak terbiasa menjaga mata dan pendengaran mereka terhadap hal-hal yang tidak sepantasnya mereka lihat. Oleh karena itu, diwajibkan bagi orang tua untuk menutup aurat mereka di setiap waktu dalam rangka membantu menyeimbangkan naluri anak agar dapat berkembang sesuai dengan pekerti yang luhur.
Pondasi 2: Wahai Ibu, ajarkanlah kepadanya untuk menundukkan pandangannya dan menjaga auratnya.
Hendaknya setiap orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjaga pandangan dan menutup aurat sejak masih kecil. Hal tersebut lebih baik dan lebih mudah untuk membentuk kebiasaan yang baik pada diri mereka. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa anak akan merekam segala hal yang berkesan dalam ingatan mereka. Makna berkesan bagi anak berarti sesuatu yang baru dan segala sesuatu yang baru akan tampak menarik di mata anak. Apabila anak melihat sesuatu yang tidak pantas atau belum waktunya mereka lihat, maka jiwanya akan terguncang dan pikirannya akan terganggu dengan apa yang dilihatnya.
Anak yang tidak dibiasakan untuk menjaga pandangannya akan melihat aurat orang lain yang tidak boleh dilihatnya, apalagi pada jaman sekarang ini begitu banyak manusia mengobral auratnya tanpa merasa malu sedikit pun. Wahai Ibu, jagalah anakmu dari hal-hal yang demikian karena sungguh jiwanya akan rusak dan nafsu seksualnya akan matang sebelum waktunya. Sesungguhnya Allah telah berfirman,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (Qs. An-Nuur [24]:30)
Selain mengajarkan pada anak untuk menundukkan pandangannya, orang tua juga harus mengajarkan pada mereka untuk memakai hijab sejak dini. Allah berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur [24]:31)
Biasakan anak kita untuk menutup aurat mereka agar tumbuh dalam jiwa si kecil perasaan malu dan kecintaan mereka terhadap hijab. Menutup aurat dapat diajarkan pada si kecil ketika sholat sebagai syarat sah sholat, kemudian biasakanlah ia memakai hijab di luar sholat sedikit demi sedikit. Ketika kita melakukannya dengan penuh kasih sayang dan penghargaan terhadap kepatuhannya, niscaya si kecil akan merasa sangat senang memakai hijabnya.
Pondasi 3: Wahai Ibu, pisahkanlah tempat tidur mereka.
Rasulullah adalah pendidik yang sangat cermat, sehingga tidak terluput dari perhatiannya prinsip yang sangat penting dalam membina anak-anak yang berlainan jenis. Rasulullah telah mengajarkan kepada orang tua untuk memisahkan tempat tidur anak-anak mereka. Imam Ahmad (6467) meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sanad hasan,
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika meninggalkannya apabila mereka telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Dalam riwayat yang lain,
إِذَ بَلَغَ أَوْ لاَدُكُمْ سِنِيْنَ فَفَرِّقُوْا بَيْنَ فُرَشِهِمْ، وَإِذَا بَلَغُوْا عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُمْ عَلَى الصَّلاَةِ
“Jika anak-anak kalian telah berusia tujuh tahun, maka pisahkanlah tempat tidur mereka, dan jika mereka telah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika belum mau mengerjakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitab Mustadrak 1/201 dan dikatakannya sebagai hadits shahih berdasarkan syarat Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Wahai Ibu, maka pisahkanlah ranjang anak-anakmu ketika mereka telah mencapai usia 10 tahun. Hal ini disebabkan ketika berusia 10 tahun, syahwat mereka telah mulai berkembang dan bila tidak diatur bisa jadi mereka akan melampiaskan nafsu seksualnya pada jalan yang diharamkan oleh agama. Kalau pun kita tidak sanggup memisahkan tempat tidur mereka, cukuplah kita memisahkan mereka dengan memberikan selimut pada masing-masing anak. Namun menjauhkan tempat tidur mereka adalah lebih baik dan lebih utama. Oleh karena itu, hendaknya kita memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh untuk menghindari fitnah dan kerusakan akibat ketidakhati-hatian kita.
Pondasi 4: Wahai Ibu, ajarkanlah kepadanya untuk tidur dengan berbaring ke sisi kanan dan tidak telungkup.
Wahai Ibu, banyak orang tua yang mengabaikan ajaran mulia ini. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita untuk berbaring ke sisi kanan ketika tidur dan melarang seorang sahabatnya tidur telungkup.
Dari Ya’isy bin Thakhfah Al-Ghifari radhiallahu’anhu berkata, “Bapakku berkata kepadaku, ‘Ketika aku tidur di masjid dengan telungkup tiba-tiba ada seseorang yang menggerak-gerakkan aku dengan kakinya lalu mengatakan: Sesungguhnya ini adalah tidur yang dibenci Allah.’ Lalu aku melihatnya ternyata beliau adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, 5040 dengan isnad shahih; Ahmad, 3/430; Ibnu Majah, 3722; At-Tirmidzi, 2769)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Biasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat malam sebelas rakaat, bila fajar telah terbit maka beliau shalat dua rakaat yang ringan kemudian berbaring di atas bagian kananya (miring ke kanan) hingga datang muadzin lalu adzan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 11/92; Muslim, 736)
Hendaknya kita mengingatkan anak apabila kita mendapati mereka tidur dalam posisi telungkup. Para dokter menyatakan bahwa tidur telungkup dapat menyebabkan timbulnya syahwat dan berbagai penyakit yang berbahaya bagi tubuh.
Pondasi 5: Wahai Ibu, jauhkanlah dirinya dari ikhtilaat (bercampur baur) dengan lawan jenis dan segala hal yang membangkitkan syahwatnya
Tidak dapat dipungkiri oleh mereka yang berpikiran jernih, bahwa ikhtilaat merupakan sebab dari kerusakan anak muda pada jaman sekarang ini. Pada usia pubertas, anak sangat memperhatikan penampilannya. Mereka berusaha keras untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bagi anak yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak dekat dengan nilai-nilai keislaman, sama sekali tidak merasa malu untuk mengumbar aurat mereka.
Anak-anak yang jauh dari pendidikan agama akan merasa bangga ketika lawan jenis mengagumi penampilan mereka. Anak-anak perempuan itu tidak menyadari bahwa bahaya menghadang dengan bercampurnya mereka dengan laki-laki. Wahai ibu, hendaknya kita jaga buah hati kita agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Sesungguhnya campur baurnya anak laki-laki dan perempuan adalah jalan bagi setan untuk membujuk mereka dalam perbuatan keji. Maka sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Tidak ada seorang pun yang berdua-duaan dengan wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2165, beliau berkata, “Hadits hasan gharib”)
Bahkan negara-negara barat telah menyadari kerusakan yang ditimbulkan oleh ikhtilaat ini dengan membuat sekolah-sekolah khusus putri dan putra. Lalu mengapa justru kita yang telah dididik dengan Islam sejak lahir menutup mata terhadap hal ini?!
Pondasi 6: Wahai Ibu, ajarkanlah dia tentang kewajiban mandi dan sunnah-sunnahnya.
Ketika anak telah memasuki usia taklif (terkena beban syari’at), maka hendaklah kita mulai memberikan bimbingan tentang tata cara thaharah (bersuci) dan mandi wajib sebab dirinya telah dikenai kewajiban-kewajiban syari’at. Inilah saat bagi ayah untuk berbicara dan membimbing anak laki-lakinya dan saat bagi ibu untuk membimbing anak perempuannya.
Pondasi 7: Wahai Ibu, ajarkanlah padanya surat An-Nuur.
Mengajarkan surat An-Nuur kepada anak-anak merupakan suatu hal yang mulia. Pada surat An-Nuur terkandung pelajaran-pelajaran yang sangat penting untuk diketahui anak seperti masalah hijab dan selainnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menjaga keimanan mereka agar terhindar dari perbuatan maksiat dan keji seperti zina.
Pondasi 8: Wahai Ibu, berikanlah pendidikan seks bagi anakmu yang telah dewasa dan laranglah dirinya dari perbuatan keji.
Awal dari pendidikan seks bagi anak adalah dengan menjelaskan surat An-Nuur, karena di dalamnya terdapat pembinaan moral dan pendidikan seks yang wajib disampaikan oleh orang tua. Kemudian orang tua wajib mengajari anak tentang kewajiban-kewajiban mandi dan tata cara membersihkan diri dari janabat. Tidak kalah penting dari kedua hal tersebut, hendaknya kita selalu memperingatkan mereka agar tidak terjerumus dalam perbuatan keji dan perzinahan. Jelaskan kepadanya bagaimana hal tersebut dapat terjadi dan jelaskan pula tentang hubungan seksual itu.
Wahai Ibu, kemudian sampaikanlah hadits ini kepadanya, “Dari Abu Umamah bahwa ada seorang pemuda dari suku Quraisy datang menghadap Nabi dan berkata:
‘Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.’
Lalu orang-orang pun menatapnya dan menghardik, namun beliau berkata,
‘Dekatkanlah ia kemari!’ Ia kemudian sedikit mendekati beliau.
Beliau lalu berkata, ‘Apakah kamu suka jika hal itu menimpa pada ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.’ Beliau menambahkan lagi, ‘Dan orang-orang pun tidak suka bila hal itu menimpa ibu mereka.’
Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah kamu suka jika hal itu menimpa putrimu?’ Ia berkata, ‘Tidak ya Rasulullah. Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.’ Beliau menambahkan lagi, ‘Dan orang-orang pun tidak suka bila hal itu menimpa putri mereka.’
Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah kamu suka jika hal itu menimpa saudarimu?’ Ia berkata, ‘Tidak ya Rasulullah. Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.’ Beliau menambahkan lagi, ‘Dan orang-orang pun tidak suka bila hal itu menimpa saudari-saudari mereka.’
Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah kamu suka jika hal itu menimpa saudari ayahmu?’ Beliau menambahkan, ‘Dan apakah kamu suka jika hal itu menimpa saudari ibumu?’ Ia berkata, ‘Tidak ya Rasulullah. Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.’ Beliau menambahkan lagi, ‘Dan orang-orang pun tidak suka bila hal itu menimpa saudari-saudari ibu mereka.’
Beliau kemudian berdo’a, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’” Sesudah itu ia tidak pernah lagi berpaling ke hal yang keji.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, isnadnya dishahihkan dalam Silsilah Al-Haadits As-Shahihah, no 370)
Beritahukanlah kepadanya sangsi dari perbuatan zina dan hukuman had-nya agar ia merasa takut dan waspada dari perbuatan tersebut.
Pondasi 9: Wahai Ibu, biarkanlah dia menikah.
Sungguh suatu hal yang memprihatinkan terjadi pada kaum muslimin pada hari ini. Mereka lebih memilih menengok dan berjalan di belakang kaum kuffar daripada berjalan di atas sunnah nabi mereka. Bagaimana tidak? Betapa banyak orang tua yang merasa resah ketika anak gadis mereka tak kunjung mendapatkan pacar. Mereka bersikap tenang ketika melihat anak mereka berjalan kesana-kemari dengan teman laki-lakinya, dan pada akhirnya mereka mendapatkan malu dan aib ketika perzinahan terjadi. Padahal semuanya terjadi di bawah kendali dan pengawasan mereka.
Islam datang menawarkan solusi terbaik, yaitu dengan segera menikahkan anak-anak kita. Berapa banyak kemungkaran bisa dicegah dengan pernikahan? Pernikahan adalah sesuatu yang sejalan dengan fitrah manusia dan ia adalah sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh tidak bisa dimengerti ketika ada orang tua yang memilih membiarkan anak mereka larut dalam budaya pacaran dan bahkan mendorongnya daripada memilih menikahkannya padahal mereka mengetahui bahwa anak mereka telah sampai pada kondisi wajib menikah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda,
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian mempunyai kemampuan untuk menikah, maka menikahlah karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan. Namun barangsiapa yang tidak mampu maka ia harus berpuasa karena puasa itu adalah penekan nafsu syahwat.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitabun Nikah: 4677, Imam Muslim dalam Kitabun Nikah: 2485, dan selainnya)
Demikianlah syari’at yang mulia ini telah memberikan rambu-rambu kepada kita. Hendaknya kita memperhatikan dengan seksama pendidikan bagi anak-anak kita dan tidak terlena dengan pendidikan di luar Islam. Wallohu Ta’alaa a’lam wa musta’an.
Maraji’:
1. Kaifa Turrabi Waladan> karya Al-Maghribi bin As-Said Al-Maghribi (ed. terjemah: Begini Seharusnya Mendidik Anak)
2. Ifham Tiflaka Tanjah fii Tarbiyatihi karya Adil Fathi Abdullah (ed. terjemah: Knowing Your Child)
***
Artikel muslimah.or.id

Demam pada Anak

Gejala sakit pada anak yang sering kita jumpai adalah demam. Sebenarnya apakah demam itu dan bagaimana kita menyikapinya, khususnya bila demam terjadi pada anak-anak kita? Insya Allah, dalam tulisan ini akan dibahas tentang demam pada anak.
Apa itu Demam dan Bagaimana Terjadinya?
Demam adalah gejala berupa naiknya suhu tubuh sebagai respon normal tubuh terhadap suatu gangguan. Suhu tubuh diukur dengan termometer, dikatakan demam bila:
 Suhu rektal (di dalam dubur): lebih dari 38ºC
 Suhu oral (di dalam mulut): lebih dari 37.5ºC
 Suhu ketiak: lebih dari 37.2ºC
 Termometer bentuk dot bayi digital: lebih dari 37.8ºC
 Suhu telinga: mode rektal: lebih dari 38ºC; mode oral: lebih dari 37.5ºC
Suhu tubuh dikendalikan oleh suatu bagian dari otak yang disebut hipotalamus. Hipotalamus berusaha agar suhu tubuh tetap hangat (36,5-37,5 ºC ) meskipun lingkungan luar tubuh berubah-ubah. Hipotalamus mengatur suhu dengan cara menyeimbangkan antara produksi panas pada otot dan hati dan pengeluaran panas pada kulit dan paru-paru. Ketika ada infeksi, sistem kekebalan tubuh meresponnya dengan melepaskan zat kimia dalam aliran darah. Zat kimia tersebut akan merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh dan akhirnya akan menambah jumlah sel darah putih yang berguna dalam melawan kuman.
Apa saja penyebab demam?
Infeksi merupakan penyebab terbanyak demam pada anak-anak. Infeksi adalah keadaan tubuh yang dimasuki kuman penyebab penyakit, bisa virus, parasit, atau bakteri. Contoh penyakit infeksi dengan gejala demam adalah flu, radang saluran pencernaan, infeksi telinga, croup, dan bronkhiolitis. Beberapa imunisasi anak-anak juga dapat menyebabkan demam. Kapan demam akan timbul tergantung dari vaksinasi yang diberikan (biasanya imunisasi DTP, HiB, dan MMR). Sedangkan anak yang sedang tumbuh gigi, menurut suatu penelitian, tidak menyebabkan demam.
Bagaimana cara mengukur suhu tubuh anak?
Cara paling akurat adalah dengan suhu rektal. Namun, mengukur suhu oral bisa akurat bila dilakukan pada anak di atas 4-5 tahun, atau suhu telinga pada anak di atas 6 bulan. Mengukur suhu ketiak adalah yang paling kurang akurat, namun dapat berguna saat dilakukan pada anak kurang dari 3 bulan. Bila suhu ketiak lebih dari 37.2ºC, maka suhu rektal harus diukur. Di sisi lain, tidaklah akurat bila mengukur suhu tubuh dengan merasakan kulit anak. Hal ini disebut suhu taktil (sentuhan) karena bersifat subyektif, yaitu pengukuran sangat dipengaruhi oleh suhu orang yang merasakan kulit si anak. Berikut cara mengukur suhu anak:
• Suhu rektal: anak dibaringkan di pangkuan pemeriksa dengan perut sebagai dasarnya, sebelumnya oleskan sedikit krim atau jely pelumas (misal: Vaseline) pada ujung termometer, masukkan termometer dengan hati-hati ke dubur anak sampai ujung perak termometer tidak terlihat (0,5-1,25 cm di dalam dubur), tahan termometer pada tempatnya. Tahan selama 2 menit untuk termometer raksa atau kurang dari 1 menit untuk digital.
• Suhu oral: yang perlu diperhatikan adalah jangan mengukur suhu pada mulut anak bila anak makan atau minum yang panas atau dingin dalam 30 menit terakhir. Sebelumnya bersihkan termometer dengan air dingin dan sabun kemudian bilas dengan air sampai bersih. Tempatkan ujung termometer di bawah lidah ke arah belakang. Minta anak untuk menahan termometer dengan bibirnya. Upayakan bibirnya menahan termometer selama kira-kira 3 menit untuk termometer raksa atau kurang dari 1 menit untuk digital.
• Suhu ketiak: tempatkan ujung termometer di ketiak anak yang kering kemudian Tahan termometer dengan mengempitnya antara siku dengan dada selama 4-5 menit.
• Suhu telinga: perlu diperhatikan bahwa termometer telinga tidak digunakan untuk anak di bawah 6 bulan. Bila anak baru dari luar rumah di mana cuaca sedang dingin, tunggu 15 menit sebelum mengukur suhu telinga. Infeksi telinga tidak mempengaruhi akurasi suhu telinga. Caranya, ibu harus menarik telinga ke arah luar-belakang sebelum memasukkan termometer kemudian tahan alat di telinga anak selama kira-kira 2 detik.
Bagus mana? Termometer digital atau raksa?
Termometer digital murah, mudah didapat, dan cara paling akurat untuk mengukur suhu. Sedangkan termometer raksa mengandung merkuri yang berbahaya saat terpapar ke tubuh, bila termometer pecah. Bila yang ada hanya termometer raksa, pastikan untuk hati-hati saat menggoyang-goyang termometer gelas sebelum digunakan.
Bagaimana sikap kita saat anak demam?
Sangatlah penting bagi orang tua untuk tahu kapan anak demam harus diperiksakan ke dokter atau dirawat sendiri.Di bawah ini adalah kondisi anak demam yang harus diperiksakan ke dokter atau tempat pelayanan kesehatan:
• Anak di bawah 3 bulan dengan suhu 38ºC atau lebih, tanpa melihat penampakan anak (meskipun anak tampak baik).
• Anak di atas 3 bulan dengan suhu 38ºC atau lebih selama lebih dari 3 hari atau tampak sakit (rewel dan menolak minum).
• Anak 3-36 bulan dengan suhu 38.9ºC atau lebih.
• Anak segala usia dengan suhu 40ºC atau lebih.
• Anak segala usia yang mengalami kejang demam (step). Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun dengan suhu 38º C atau lebih.
• Anak segala usia yang mengalami demam berulang.
• Anak segala usia yang demam dengan penyakit kronis, seperti penyakit jantung, kanker, lupus, atau anemia bulan sabit.
• Anak demam yang disertai munculnya ruam-ruam di kulit.
Anak dapat dirawat sendiri oleh orang tua bila anak berumur lebih dari 3 bulan dengan suhu kurang dari 38.9ºC, dan anak tampak sehat serta berperilaku normal.
Langkah-langkah yang bisa kita lakukan saat anak demam antara lain:
Obat untuk Demam pada Anak
Perawatan paling efektif untuk demam adalah menggunakan obat penurun panas seperti Parasetamol (contoh: Pamol®, Sanmol®, Tempra®l) atau Ibuprofen (contoh: Proris®). Terdapat berbagai macam sediaan di pasaran seperti: tablet, drops, sirup, dan suppositoria. Pengobatan ini dapat mengurangi ketidaknyamanan anak dan menurunkan suhu 1 sampai 1,5 ºC. Sedangkan Aspirin tidak direkomendasikan untuk anak di bawah 18 tahun karena dapat menyebabkan efek samping penyakit serius yang disebut sindrom Reye, meskipun angka kejadian penyakit ini jarang.
Parasetamol dapat diberikan setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan. Bila suhu tetap tinggi meskipun parasetamol telah diberikan dan anak berumur lebih dari 6 bulan, Parasetamol diganti dengan Ibuprofen yang dapat diberikan setiap 6-8 jam. Dosis parasetamol atau ibuprofen harus diperhitungkan berdasarkan berat badan (bukan umur), yaitu: parasetamol: 10-15 mg/kilogram berat badan anak setiap kali pemberian, maksimal 60 mg/kilogram berat badan/hari. Sedangkan Ibuprofen: 5-10 mg/kilogram berat badan anak setiap kali pemberian, maksimal 40 mg/kilogram berat badan/hari. Contoh: bila anak dengan berat 12 kg, diberikan sirup Parasetamol 12 x (10 sampai 15) mg = 120 mg sampai 180 mg sekali minum. Apabila orang tua kesulitan dalam menghitung dosis hendaknya berkonsultasi dengan apoteker atau farmasis. Jangan asal-asal dalam menentukan dosis obat pada anak. Adapun obat yang telah diresepkan oleh dokter maka patuhilah aturan pemakaian obat dari dokter. Apabila orang tua merasa ragu jangan segan-segan meminta informasi kepada dokter yang meresepkan.
Sekilas tentang Kompres
Mengompres dilakukan dengan handuk atau washcloth (washlap atau lap khusus badan) yang dibasahi dengan dibasahi air hangat (30ºC) kemudian dilapkan seluruh badan. Penurunan suhu tubuh terjadi saat air menguap dari permukaan kulit. Oleh karena itu, anak jangan “dibungkus” dengan lap atau handuk basah atau didiamkan dalam air karena penguapan akan terhambat. Tambah kehangatan airnya bila demamnya semakin tinggi. Dengan demikian, perbedaan antara air kompres dengan suhu tubuh tidak terlalu berbeda. Jika air kompres terlalu dingin akan mengerutkan pembuluh darah anak. Akibatnya, panas tubuh tidak mau keluar. Anak jadi semakin menggigil untuk mempertahankan keseimbangan suhu tubuhnya.
Mengompres dapat pula dilakukan dengan meletakkan anak di bak mandi yang sudah diisi air hangat. Lalu basuh badan, lengan, dan kaki anak dengan air hangat tersebut. Sebenarmya mengompres kurang efektif dibandingkan obat penurun demam. Bila ibu memakai metode kompres, hendaknya digabungkan dengan pemberian obat penurun demam, kecuali anak alergi terhadap obat tersebut.
Ingat! Jangan mengompres dengan alkohol karena uap alkohol dapat terserap ke kulit atau paru-paru anak. Membedong anak di bawah umur 3 bulan dengan banyak pakaian atau selimut dapat sedikit menaikkan suhu tubuh. Menurut penelitian, suhu rektal 38.5ºC atau lebih tidak dihubungkan dengan membedong dengan kain tebal tadi. Oleh karena itu, dianjurkan bila anak demam, cukup memakai baju atau selimut tipis saja sehingga aliran udara berjalan baik.
Menaikkan Asupan Cairan Anak
Demam pada anak dapat meningkatkan risiko terkena dehidrasi (kekurangan cairan). Tanda dehidrasi paling mudah adalah berkurangnya kencing dan air kencing berwarna lebih gelap daripada biasanya. Maka dari itu, orang tua sebaiknya mendorong anak untuk minum cairan dalam jumlah yang memadai. Anak dengan demam dapat merasa tidak lapar dan sebaiknya tidak memaksa anak untuk makan. Cairan seperti susu (ASI atau sapi atau formula) dan air harus tetap diberikan atau bahkan lebih sering. Anak yang lebih tua dapat diberikan sup atau buah-buahan yang banyak mengandung air. Bila anak tidak mampu atau tidak mau minum dalam beberapa jam, orang tua sebaiknya diperiksakan ke dokter.
Istirahatkan Anak Saat Demam
Demam menyebabkan anak lemah dan tidak nyaman. Orang tua sebaiknya mendorong anaknya untuk cukup istirahat. Sebaiknya tidak memaksa anak untuk tidur atau istirahat atau tidur bila anak sudah merasa baikan dan anak dapat kembali ke sekolah atau aktivitas lainnya ketika suhu sudah normal dalam 24 jam.
Selama anak demam, orang tua hendaknya tetap memperhatikan gejala-gejala lain yang muncul. Tanyakan pada anak, adakah keluhan lain yang dirasakan, semisal: pusing, sakit kepala, nyeri saat kencing, kesulitan bernafas, dan lain-lain. Karena demam bisa jadi merupakan tanda bahwa ada gangguan pada kesehatan anak atau gejala dari penyakit tertentu. Oleh karena itu, para orang tua hendaknya bijaksana dalam menghadapinya. Orang tua hendaknya tahu kapan anak dengan demam dapat dirawat sendiri di rumah atau diperiksakan ke tempat pelayanan kesehatan.
Referensi:
www.mims.com
www.uptodate.com
***
Penulis: dr. Ian Danny Kurniawan (Abu ‘Ammar)
Artikel muslimah.or.id

Anak-anak Mengikuti Perbuatan yang Dilakukan Orangtua

Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berzikir dan bertahlil, bertahmid, dan bertasbih, maka dia pun akan mudah untuk mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, Subhanallah, dan Allahu akbar.

Begitu pula seorang anak yang dibiasakan untuk mengirim sedekah pada malam hari karena diutus oleh orangtuanya kepada fakir miskin secara rahasia, jelas akan berbeda dengan seorang anak yang disuruh oleh orangtuanya pada malam hari untuk membeli narkoba atau rokok.
Seorang anak yang selalu melihat ayahnya berpuasa senin dan kamis, ikut serta dalam shalat berjama’ah di masjid jelas akan berbeda dengan seorang ayah yang melihat ayahnya berada di tempat perjudian atau bioskop serta tempat-tempat hiburan yang lainnya.
Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan suara adzan mengulang-ngulang lantunan adzan, dan Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan lagu yang dilantunkan orangtuanya, melantunkannya pula.
Sungguh indah andaikata seorang ayah adalah pribadi yang slelu berbuat baik kepada kedua orangtuanya dengan berdo’a untuk mereka dan memohon ampunan kepada Allah bagi keduanya, selalu menanyakan keadaannya dan tenang berada bersama keduanya, selalu memenuhi kebutuhan keduanya dan memperbanyak berdo’a dengan ungkapan:
Robbigh firli waliwali dayya
“Ya Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku”
Dia akan selalu mengucapkan:
Robbbirhamhuma kama robbayani shoghiro
“Ya Allah, kasihanilah mereka berdua sebagaiaman mereka telah mendidikku diwaktu kecil”
Dia pun berziarah ke makam kedua orangtuanya, bersedekah untuk keduanya, menghubungkan kekerabatan dengan orang-orang yamg dekat dengan keduanya, juga memberi kepada orang-orang yang selalu diberi oleh keduanya.
Jika seorang anak melihat perangai orangtuanya yang sedemikain, maka dengan izin Allah anak itu akan meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Dia akan selalu memohon kepada Allah ampunan bagi kedua orangtuanya, dan sealu melakukn sesuatu yang biasa dilakukan oleh kedua orangtunya kepada kakek dan neneknya.
Seorang anak yang dididik shalat oleh orangtuanya jelas akan berbeda dengan seorang anak yang biasa diajarkan menonton film, musik atau sepak bola.
Sesungguhnya jika seoarang anak melihat kedua orangtuanya melakukan shalat malam dengan menangis karena takut kepada Allah juga dengan membaca alqur’an, niscaya dia akan berfikir kenapa ayahnya menangis? Kenapa dia melakuakn shalat? Dan kenapa dia meninggalkan tempat tidur yang empuk lagi hangat? Kenapa dia memilih air wudhu yang dingin ?!
Kenapa dia meninggalkan tempat tidurnya dengan memilih memohon kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap?
Semua pertanyaan ini akan selalu tertanam di dalam pikiran seorang anak dan selalu memikirkannya yang pada akhirnya si anak dengan izin Allah akan meniru apa saja yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Demikian pula anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhijab dan menutup diri dari laki-laki lain, dia telah dihiasi dengan rasa malu dan sikap menjaga kehormatan, kesucian dirinya telah menjadikan dirinya mulia. Jika ibunya demikian niscaya anaknya juga akan belajar menanamkan rasa malu, menjaga kehormatan dan kesucian dari ibunya. Sedangkan anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhias diri di depan setiap laki-laki, bersalaman, dan bercampur baur, tertawa dan tersenyum dengan laki-laki lain bahkan berdansa dengan mereka, maka anaknya pun akan belajar yang demikian itu darinya.
Maka bertakwalah kalian wahai para ibu dan ayah! Jagalah anak-anak kalian, dan jadilah kalian sebagai suri tauladan bagi mereka dnegna perangai yang baik dan tabiat yang mulia. Sebelum itu semua, jadilah kalian sebagai suri tauladan dengan memegang teguh agama Allah juga Nabi-Nya.
Maroji’:
Ensiklopedi Pendidikan Anak hal 38 (Fiqh Tarbiyatil Abnaa’ wa Thaa-ifatun min Nashaa-ihil Athibba’), Mushthafa al-’Adawi
***
Artikel www.muslimah.or.id

khlaq untuk Buah Hati

Anak adalah buah hati setiap orang tua, dambaan disetiap keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi keletihan jiwa orang tua. Anak tidak lahir begitu saja, anak terlahir dari buah cinta sepasang hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan amanat wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik oleh orangtua.
Karena setiap amanat akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana hadist sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Umar yang berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga dan akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pertanggung jawaban orang tua tersebut baik di dunia ataupun di akherat, namun tatkala anak sudah baligh maka mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggung jawaban tersebut adalah dengan memelihara diri dan keluarga dari api neraka:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Dan hal ini dapat diwujudkan dengan memberi pendidikan kepada anak dengan pendidikan yang baik sesuai Al Qur’an dan As sunnah sebagai bekal perjalanan di dunia maupun di akherat. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, “Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”
Pendidikan tersebut banyak cabangnya satu diantaranya adalah pendidikan akhlak, akhlak anak yang baik dapat menyenangkan hati orang lain baik orangtua atau orang-orang di lingkungan. Bahkan akhlak yang sesederhana sekalipun misalnya memberikan wajah berseri saat bertemu dengan saudara muslim yang lain.
Disamping ikhtiar dengan pendidikan akhlak yang bagus hendaknya orangtua selalu mendo’akan anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan naungan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pula. Karena doa orangtua atas anaknya termasuk doa yang mustajab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orangtua atas anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shohih dan Dho’if Sunan Abu Daud hadist no. 1536)
Sebagaimana para nabi dan rosul dahulu yang selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak cucu mereka.
Do’a Nabi Zakaria ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah:
“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38)
Doa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimussalam: “Ya Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anakcucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. Al Baqoroh: 128)
Sungguh islam adalah agama yang sempurna hingga pendidikan anakpun diperhatikan dengan serius. Namun sangat disayangkan orangtua zaman sekarang jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi buah hatinya lantaran kesibukan mereka atau kejahilan (ketidakmengertian) mereka. Prinsip yang mereka pegang adalah Membahagiakan anak. Namun kebahagiaan yang semacam apa yang ingin diwujudkan oleh sebagian para orangtua tersebut?! Ada yang berpendapat bahagia tatkala anaknya bisa mendapatkan sekolah yang favorit dan menjadi bintang kelas, orang yang berpendapat seperti ini maka akan menggebu-gebu untuk mencarikan tempat les dimana-mana, hingga lupa menyisakan waktu untuk mengenalkan islam kepadanya. Adalagi pendapat bahwa kebahagiaan adalah tatkala si anak tidak kekurangan apapun didunia, orangtua tipe ini akan berambisi untuk mencari materi dan materi untuk memuaskan si anak tanpa disertai pendidikan akhlak bagaimana cara mengatur serta memanfaatkan harta yang baik. Dan ada pula sebagian yang lain bahwa kebahagiaan adalah buah dari keimanan kepada Allah dengan bentuk ketenangan dalam hati; bersabar tatkala mendapat musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan nikmat. Namun jarang ditemukan orangtua yang sependapat dengan tipe ketiga ini. Kebanyakan diantara mereka sependapat dengan tipe 1 dan 2. Dan tatkala mereka tiada, mereka akan berlomba-lomba untuk mewasiatkan harta ini dan itu, padahal telah dicontohkan oleh lukman mengenai wasiat yang terbaik. Bukan sekedar harta atau perhiasan dunia melainkan sesuatu hal yang lebih berharga dari keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman melalui lisan lukman:
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan yang lemah yang bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKu-lah kembalimu, maka kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata), ‘Hai anakku sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau dilangit atau didalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjaln dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.’” (QS. Luqman: 13-19)
Tatkala anak tumbuh menjadi anak pembangkang, suka membantah kepada orangtua bahkan durhaka kepada orangtua, banyak diantara orangtua yang menyalahkan si anak, salah bergaullah, tidak bermorallah atau alasan-alasan yang lain. Bukan… bukan lantaran karena anak salah bergaul saja, si anak menjadi seperti itu namun hendaknya orangtua mawas diri terhadap pendidikan akhlak si anak. Sudahkah dibina sejak kecil? Sudahkah dia diajari untuk memilih lingkungan yang baik? Sudahkah dia tahu cara berbakti kepada orangtua? Atau sudahkah si anak tahu bagaimana beretika dalam kehidupan sehari-hari dari bangun tidur hingga tidur kembali? Jika jawabannya belum, maka pantaslah jika orangtua menuai dari buah yang telah mereka tanam sendiri. Seperti perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah,
“Hendaknya anak dijauhkan dari berlebihan dalam makanan, berbicara, tidur dan berbaur dengan perbuatan dosa, sebab kerugian akan didapat dari hal-hal itu dan menjadi penyebab hilangnya kebaikan dunia dan akhirat. Anak harus dijauhkan dari bahaya syahwat perut dan kemaluan sebab jika anak sudah dipengaruhi oleh kotoran syahwat maka akan rusak dan hancur. Berapa anak tercinta menjadi rusak akibat keteledoran dalam pendidikan dan pembinaan bahkan orangtua membantu mereka terjerat dalam syahwat dengan anggapan hal itu sebagai ungkapan perhatian dan rasa kasih sayang kepada anak padahal sejatinya telah menghinakan dan membinasakan anak sehingga orangtua tidak mengambil manfaat daria anak dan tidak meraih keuntungan dari anak baik didunia maupun diakhirat. Apabila engkau perhatikan dengan seksama maka kebanyakan anak rusak berpangkal dari orangtua.”
Mungkin saat si anak masih kecil belum akan terasa dampak dari arti pentingnya akhlak bagi orangtua namun saat dewasa kelak maka akan sangat terasa bahkan sangat menyakitkan bagi kedua orangtua. Dan perlu ditekankan bahwa akhlak yang baik dari seorang anak adalah harta yang lebih berharga daripada sekedar harta yang kini sedang para orangtua obsesikan.
Sebelum terlambat mulailah saat ini menanamkan akhlak tersebut, dari hal yang sederhana:
1. Dengan memberi contoh mengucapkan salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Dan maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkan salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
2. Memperhatikan etika dalam makan.
Dari umar bin Abu Salamah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadaku,
“Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari makanan yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Mengajarkan rasa kebersamaan dengan saudara muslim yang lain, misalnya dengan menjenguk orang sakit.
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangan dan mendoakan orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘alaihi)
4. Mengajarkan kejujuran.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Peganglah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan menunjukan kepada surga. Seseorang selalu jujur dan memelihara kejujuran hingga tercatat di sisi Allah termasuk orang yang jujur. Dan hindarilah dusta karena kedustaan menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang selalu berdusta dan terbiasa berbuat dusta hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim)
Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi yang baik pula, generasi pemuda yang taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orangtua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara muslim yang lain. Wallohu a’lam bishowab.
Maraji’:
Begini Seharusnya Mendidik Anak -Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa-, karya Al Maghribi bin As Said Al Maghribi
***
Artikel www.muslimah.or.id

Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati

Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari, yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs.al-Kahfi: 46)
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Qs. At-Taghaabun:14)
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika menafsirkan ayat di atas, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…” .
Kewajiban Mendidik Anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya” .
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut .
Metode Pendidikan Anak yang Benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan.”
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras untuk memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka dilahirkan ke dunia, padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?
Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa,
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَاz
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang ini berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)
Pembinaan Rohani dan Jasmani
Cinta yang sejati kepada anak tidaklah diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi-Nya Ya’qub ‘alaihissalam yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya, sehingga pada saat-saat terakhir dari hidup beliau, nasehat inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah berfirman,
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya.’” (Qs. al-Baqarah: 133)
Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan semata-semataagama Allah , yang landasannya adalah ibadah kepada Allah (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Dimana kebanyakan orang pada saat-saat seperti ini justru yang mereka berikan perhatian utama adalah kebutuhan duniawi semata-mata; apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup?
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (Qs. Luqmaan: 13)
Lihatlah bagaimana hamba Allah yang shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikannya untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan) Allah semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik .
Manfaat dan Pentingnya Pendidikan Anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “Salah seorang ulama berkata, ‘Sesugguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat (nanti) akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْناً
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya.” (Qs. al-’Ankabuut: 8)
(Demikian juga) Allah berfirman,
قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)
Maka barangsiapa yang tidak mendidik anaknya (dengan pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar kepada anaknya tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak timbulnya (justru) karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak memberikan (pengarahan terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran (dalam) agama. Sehingga karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua.”
Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,
إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك
“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.’”
Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya . Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya , tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar orang tuanya.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. an-Najm: 39)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya.”
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya.”
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka, karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
http://muslimah.or.id